TEORI AGENDA SETTING DAN KULTIVASI

Standard

Pengertian / Definisi Televisi

Televisi adalah sebuah mediatelekomunikasi terkenal yang berfungsi sebagai penerima siaran gambar bergerak beserta suara, baik itu yang monokrom (hitam-putih) maupun berwarna. Kata “televisi” merupakan gabungan dari kata tele (τῆλε, “jauh”) dari bahasa Yunani dan visio (“penglihatan”) dari bahasa Latin, sehingga televisi dapat diartikan sebagai “alat komunikasi jarak jauh yang menggunakan media visual/penglihatan.”

Penggunaan kata “Televisi” sendiri juga dapat merujuk kepada “kotak televisi“, “acara televisi“, ataupun “transmisi televisi“. Penemuan televisi disejajarkan dengan penemuan roda, karena penemuan ini mampu mengubah peradaban dunia. Di Indonesia ‘televisi’ secara tidak formal sering disebut dengan TV (dibaca: tivi, teve ataupun tipi.)

Kotak televisi pertama kali dijual secara komersial sejak tahun 1920-an, dan sejak saat itu televisi telah menjadi barang biasa di rumah, kantor bisnis, maupun institusi, khususnya sebagai sumber kebutuhan akan hiburan dan berita serta menjadi media periklanan. Sejak 1970-an, kemunculan kaset video, cakram laser, DVD dan kini cakram Blu-ray, juga menjadikan kotak televisi sebagai alat untuk untuk melihat materi siaran serta hasil rekaman. Dalam tahun-tahun terakhir, siaran televisi telah dapat diakses melalui Internet, misalnya melalui iPlayer dan Hulu.

2.2 Teori Agenda Setting

Ide dasar pendekatan Agenda Setting seperti yang sering dikemukakan Bernard Cohen (1963) adalah bahwa “pers lebih daripada sekadar pemberi informasi dan opini. Pers mungkin saja kurang berhasil mendorong orang untuk memikirkan sesuatu, tetapi pers sangat berhasil mendorong pembacanya untuk menentukan apa yang perlu dipikirkan”.

Dalam studi pendahuluan tentang Agenda Setting, McCombs dan Shaw (1972) menunjukkan hubungan di antara beberapa surat kabar tertentu dan pembacanya dalam isu-isu yang dianggap penting oleh media dan publik. Jenjang pentingnya isu publik ini disebut sebagai salience. Akan tetapi, studi ini sendiri bukanlah Agenda Setting seperti yang kita maksudkan, karena arah penyebabnya tidaklah jelas. Baik media ataupun publik bisa saja menimbulkan kesepakatan tentang jenjang isu-isu publik.

Selain itu, studi pendahuluan ini masih berupa suatu perbandingan umum, bukan perbandingan individual, seperti yang ditetapkan dalam hipotesis Agenda Setting ini. McCombs dan Shaw (1972) mengakui keterbatasan ini dalam studinya dan mengungkapkan bahwa “penelitian-penelitian lain harus meninggalkan konteks sosial yang umum dan memakai konteks psikologi sosial yang lebih spesifik”. Sayang sekali saran ini tidak sepenuhnya diikuti dalam hampir seluruh penelitian agenda setting yang dilakukan kemudian (Becker, 1982). (http://teddykw1.wordpress.com/2008/03/08/teori-penentuan-agenda-agenda-setting-theory/ diakses 29 Desember 2013 pukul 22.13)

2.3 Teori kultivasi

Teori kultivasi adalah teori sosial yang meneliti efek jangka panjang dari televisi pada khalayak. teori ini merupakan salah satu teori komunikasimassa Dikembangkan oleh George Gerbner dan Larry Gross dari University of Pennsylvania, teori kultivasi ini berasal dari beberapa proyek penelitian skala besar berjudul ‘Indikator Budaya‘. Tujuan dari proyek Indikator Budaya ini adalah untuk mengidentifikasi efek televisi pada pemirsa. Mereka.

Gerbner dan Stephen Mirirai (1976) mengemukakan bahwa televisi sebagai mediakomunikasi massa telah dibentuk sebagai simbolisasi lingkungan umum atas beragam masyarakat yang diikat menjadi satu, bersosialisasi dan berperilaku.(http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_kultivasi diakses 29 Desember 2013 pukul 22.18)

2.4 Analisis

Televisi merupakan salah satu media elektronik yang hadir ditengah-tengah masyarakat di belahan dunia yang mampu memberikan informasi seputar peristiwa yang terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri. Dengan kemampuannya, televisi di rancang dengan menampilkan gambar, warna, dan suara atau di sebut dengan vidio – audio visual. Televisi memiliki fungsi dalam mendidik, memberikan informasi dan menghibur. Disisi lain, televisi lebih dominan di pandang negatif ketimbang nilai positifnya. Pengaruh negatife televisi sangat jelas terlihat sekarang ini dengan maraknya acara-acara di televisi yang sama sekali tidak bermutu sama sekali dengan maraknya sinetron, infotainment gosip, dan berita yang berisikan cinta, uang, kekerasan dan pergaulan bebas. Namun keberadaan media televisi sangat dibutuhkan dalam di dalam masyarakat seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta berkembangnya jaman.

Teori agenda setting berperan dalam memberikan isu kepada khalayak untuk memberikan suatu informasi mengenai gejala-gejala yang terjadi di dalam ruang lingkup masyarakat karena dianggap menghibur jika dilewatkan. Dalam perusahaan media massa pasti kita akan menemukan yang namnya Agenda Setting, dan menjadi salah satu hal yang sangat mustahil kalau media massa itu sendiri tidak memiliknya terutama media elektronik televisi. Agenda setting artinya pengaturan atau perencanaan setiap program sebelum ditayangkan kepada khalayak. Agenda setting memberikan pandangan bahwa “ Apa yang terbaik oleh media, maka itulah yang terbaik pula untuk khalayak “.

Ini berarti bahwa media telah mempersiapkan secara matang setiap menu (program) yang mereka sajikan untuk khalayak. Program yang telah di susun dengan sedemikian rupa, baik dari segi gamabar, suara, kualitas dan lain sebagainya. Ini terlihat bahwa khalayak selalu mengikuti apa yang menjadi keinginan dari media ituu sendiri dan tanpa disadari kita tela terkultivasi (terpengaruh) oleh setiap program yag diasjikan oleh media itu sendiri.

Kultivasi merupakan teori yang memliki arti sebagai pengaruh, artinya adalah program yang di sajikan oleh media televisi akan memberikan dampak terhdap khalayak. Banyak contoh kasus yang bisa kita lihat, seperti tayangan – tayangan film – film action yang tentunya secara cepat bisa mempengaruhi pola piikir anak – anak untuk bagaimana cara berkelahi yang sesungguhnya.

Di indonesia film (sinetron) sangat besar dinikmati oleh khalayak (anak – anak, remaja, dewasa, ataupun lamsia). Ini hanyalah merupakan contoh kecil yang terjadi dalam masayarakat kecil. Belum lagi kita di indonesia terkenla dengan budaya – budaya yang sejak awal dipertahankan oleh nenek moyang kita. Setelah media televisi terutamanya menayangkan budaya – budaya barat yang seharusnya tidak sepantasnya ditanyangkan. Ini tentunya akan berdampak sangat besar terhdap budaya – budaya di Indonesia yang sudah bertahun – tahun berkembangan ditanah air tercinta ini.

Kesimpulan

  1. Agenda setting artinya pengaturan atau perencanaan setiap program sebelum ditayangkan kepada khalayak. Agenda setting memberikan pandangan bahwa “ Apa yang terbaik oleh media, maka itulah yang terbaik pula untuk khalayak “.
  2. Kultivasi merupakan teori yang memliki arti sebagai pengaruh, artinya adalah program yang di sajikan oleh media televisi akan memberikan dampak terhdap khalayak. Banyak contoh kasus yang bisa kita lihat, seperti tayangan – tanayanga film – film action yang tentunya secara cepat bisa mempengaruhi pola piikir anak – anak untuk bagaimana cara berkelahi yang sesungguhnya.

DEFINISI, UNSUR, PROSES DAN EFEK KOMUNIKASI POLITIK

Standard

Definisi Komunikasi Politik
Studi komunikasi politik merupakan gabungan dari beberapa disiplin ilmu. Dalam perkembangannya studi tentang komunikasi politik lebih mendapat perhatian oleh sarjana ilmu politik dibandingkan dengan sarjana ilmu komunikasi. Hal serupa juga diungkapkan Cangara bahwa di Indonesia pada awalnya perhatian untuk membicarakan komunikasi politik justru tumbuh di kalangan para sarjana ilmu politik daripada para sarjana ilmu komunikasi itu sendiri (Cangara, 2009:34).
Meskipun demikian ilmu komunikasi sudah banyak mengajarkan tentang politik meski masih belum fokus. Mark Roelofs mengatakan bahwa politik adalah pembicaraan atau lebih tepat, kegiatan politik (berpolitik) adalah berbicara (Roelofs dalam Rakhmat, 1993:8).
Sejalan dengan perkembangannya, para ilmuan berusaha untuk memberikan definisi tentang komunikasi politik. Setiap ilmuan dalam mengkaji dan menjelaskan tentang studi komunikasi politik mempunyai pandangan yang berbeda-beda. Soesanto mendefinisikan komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini, dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik (Astrid, S. Soesanto, 1980:2).. Menelaah beberapa pandangan diatas maka dapat dikatakan bahwa kegiatan politik melibatkan komunikasi diantara beberapa orang yang terlibat didalamnya.
Berorientasi dari beberapa pandangan ilmuan tentang komunikasi politik dapat dikatakan bahwa secara keseluruhan tidak mudah untuk mendefinisikan komunikasi politik. Berkaitan dengan semakin bertambahnya definisi komunikasi politik yang disebabkan karena perbedaan sudut pandang, maka secara sederhana dapat dikatakan bahwa komunikasi politik merupakan proses penyampaian pesan politik.
Kegiatan politik merupakan suatu interaksi atau dapat dikatakan adalah suatu kegiatan berkomunikasi antara orang-orang. Politik sangat berkaitan erat dengan apa yang disebut dengan komunikasi. Salah satu kajian penting dalam kegiatan politik yaitu bahwa semua kegiatan politik sangat berhubungan dengan komunikasi. All political action is a reaction to communication one of kind or another. There are, however, different levels and types of communication. Face-to-face communication is the most basic (Roskin, 1997:166).

Unsur Komunikasi Politik
Sebagai suatu bentuk kajian yang berhubungan dengan kegiatan berkomunikasi, beberapa ahli juga menjelaskan beberapa unsur-unsur komunikasi politik melalui beberapa sudut pandang yang berbeda-beda. Cangara dalam bukunya menyebutkan unsur komunikasi politik meliputi sumber (komunikator), pesan, media atau saluran, penerima dan efek (Cangara, 2009:37).
1. Komunikator politik
Semua pihak yang ikut terlibat dalam proses penyampaian pesan. Pihak-pihak ini dapat berbentuk individu, kelompok, organisasi, lembaga, ataupun pemerintah.
2. Pesan Politik
Pesan politik merupakan pernyataan yang disampaikan baik itu tertulis maupun tidak, dalam bentuk simbol atau verbal yang mengandung unsur politik missal pidato politik, UU, dll.
3. Saluran atau Media Politik
Dalam perkembengan sekarang ini, media massa dianggap sebagai saluran yang paling tepat untuk melakukan proses komunikasi politik.
4. Penerima Pesan Politik
Semua lapisan masyarakat yang diharapkan memberikan respon terhadap pesan komunikasi politik. Misalnya dengan memberikan suara pada pemilihan umum.
5. Efek atau Pengaruh
Efek merupakan pengukur seberapa jauh pesan politik dapat diterima dan dipahami.
Jika Cangara menjelaskan unsur komuniasi politik kedalam 5 kajian diatas, hal ini berbeda dengan Sumarno yang membagi unsur-unsur komunikasi politik kedalam suprastruktur dan infrastruktur politik (Sumarno, 1989: 16).
1. Unsur-unsur pada suprastruktur
Terdiri dari tiga kelompok yaitu yang berada pada lembaga legislative, eksekutif dan yudikatif.
2. Unsur-unsur infrastruktur
Unsur ini meliputi: partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, media komunikasi politik, kelompok wartawan, kelompok mahasiswa, dan para tokoh politik.
3. Komunikan dan komunikator.
Merupakan unsur yang paling penting dalam dan menentukan dalam setiap bentuk komunikasi.
Melihat dua ilmuan yang menjelaskan tentang unsur komunikasi politik, terdapat perbedaan sudut pandang. Jika dipahami lebih jauh lagi kita dapat menyimpulkan bahwa unsur komunikasi politik adalah semua hal yang berhubungan dengan proses komunikasi yang didalamnya mengandung makna politik, atau bertujuan untuk politik baik itu isi pesan maupun pelaku komunikasi politik.
Proses Komunikasi Politik
Idealnya dalam proses komunikasi politik berlangsung timbal balik. Proses komunikasi politik adalah dimana semua unsur-unsur komunikasi saling berkaitan sehingga membentuk suatu makna atau maksud yang ingin disampaiakn tercapai. Ada dua paradigma komunikasi politik, yaitu linear (satu arah) dan konvergensi (dua arah).
Paradigm konvergensi menempatkan komunikator dan komunikan sederajat, yaitu arus pesan berputar dalam sirkuit perputaran pesan.
Efek Komunikasi Politik
Efek komunikasi bisa dilihat melalui dua segi yaitu jangka waktunya dan tindakan pengaruhnya.
1. Jangka waktu berlakunya
a. Jangka panjang
b. Jangka pendek
2. Tindakan pengaruhnya
a. Kognitif, yaitu efek komunikasi politik yang berlangsung pada tingkat pemikiran.
b. Afektif yaitu efek komunikasi pada tingkat emosional/perasaan/sikap
c. Efek Perilaku yaitu efek komunikasi politik pada tingkat perilaku

Setelah mengkaji berbagai aspek dalam komunikasi politik kita dapat mengatakn secara sederhana bahwa dalam perkembangannya studi ini berusaha untuk menjelaskan tentang subyek pokok kajian komunikasi politik yang interdisipliner dan membedakan dengan kajian ilmu lain. Komunikasi politik juga dapat dikatan sebagai sebuah proses dimana menyetujui keberadaan lembaga-lembaga politik dan merupakan fungsi dari sistem politik.

KAMPANYE

Standard

Pada dasarnya pidato, kampanye, dan propaganda merupakan bentuk-bentuk komunikasi antarmanusia (human communications) yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan tertentu dengan menggunakan teknik dan metode tertentu pula.

Istilah kampanye berasal dari Bahasa Inggris campaign yang juga berasal dari Bahasa Latin campus yang berarti “extensive track of country, series of operation in a particular theactric war, an organized series of operation, meeting canvassing”. Hal ini membawa permasalahan ke masalah berkomunikasi populer/popularisasi tentang suatu masalah.

Menurut Rice dan Paisley yang dikutip oleh F. Rachmadi dalam dalam buku Public Relatios Dalam Teori Dan Praktek (Aplikasi dalam Badan Usaha Swasta dan Lembaga Pemerintah) bahwa kampanye adalah keinginan seseorang untuk mempengaruhi kepercayaan dan tingkah laku orang lain dengan daya tarik yang komunikatif.

Tujuan kampanye adalah menciptakan ‘perubahan’ atau ‘perbaikan’ dalam masyarakat… (1993 : 134).
Menurut Astrid S. Soesanto dalam buku Pendapat Umum menyatakan bahwa prinsip dasar dalam kampanye adalah bahwa kampanye mengikuti proses komunikasi dan unsur-unsurnya, yaitu :

Proses Rasionalisasi/Emosionalitas. Proses rasional yaitu apa yang secara harfiah disampaikan dalam suatu kegiatan komunikasi. Proses emosional yang “sekedar” tersirat dalam penyampaian informasi. Proses rasionalitas biasanya terjadi waktu orang membahas hal-hal yang tidak terlalu melibatkan kepentingan pribadinya sehingga konsensus mudah tercapai. Unsur rasionalitas adalah proses pengoperan lambang-lambang secara harfiah dan proses komunikasi ialah proses emosionalitas yang mengiringi informasi rasional tadi. Tingkat emosionalitas dapat dideteksi melalui : pilihan kata dan tanda penyampaian. Hal lain yang berkaitan dengan proses rasionalitas adalah anteseden yaitu sumber pengalaman yang mendahului.

Unsur emosionalitas dan rasionalitas juga makin meningkat atau berkurang bila dikaitkan dengan :
• Kemampuan ekonomi/pendidikan
• Relevansi dengan hidup
• Demi waktu/rencana memanfaatkan waktu

Proses Informasi dan Proses Komunikasi. Proses perumusan informasi diambil dari sumber retreval yang tepat sumber, tepat alinea, tepat digit. Proses Komunikasi dengan retreval ditentukan oleh anteseden atau pengalaman yang mendahului, tetapi yang terpenting ialah adanya logika yang mengkaitkan informasi baru dengan informasi lama. (1975 : 123).

Sedangkan pendapat F. Rachmadi dalam buku Public Relatios Dalam Teori Dan Praktek (Aplikasi dalam Badan Usaha Swasta dan Lembaga Pemerintah) bahwa dalam melaksanakan kampanye ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan, antara lain :
Perkiraan terlebih dahulu kebutuhan, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan dari khalayak sasaran.
• Rencanakan kampanye secara sistematis.
• Lakuakan evaluasi secara terus-menerus.
• Gunakan media massa dan Komunikasi Interpersonal.
• Pilihlah media massa yang tepat untuk mencapai khalayak sasaran. (1993 : 135).

Menurut Astrid S. Soesanto secara ilmiah proses kampanye berjalan sebagai berikut :
mirip dengan iklan, tetapi lebih kuat dan agresif (Catatan : iklan adalah sejenis kampanye memerlukan proses lebih panjang dan lama) kampanye “mencegat” orang hampir di semua sudut. Tidak menyerahkan pengaruh kepada free market / social forces, menemui sasarannya dalam berbagai bentuk, keberhasilan kampanye ditentukan oleh tersedianya sesuatu segera setelah pesan mencapai sasaran, singkatnya kampanye “mengeroyok” sasaran di mana-mana dengan kata dan kegiatan, dan tidak mengenal ragu dan sangat yakin dan meyakinkan.(1975 : 124)

Selanjutnya menurut Astri S. Soesanto sebelum mengadakan program kampanye perlu diadakan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan dalam merumuskan suatu program pesan-pesan kampanye, seperti :

siapakah komunikator , kepentingannya dan sasarannya ?
apakah lingkungan mendukung ?
• bagaimana ketersedian “sesuatu” alternatif bila pesan kampanye diterima khalayak ?
• bagaimanakah masa depan “sesuatu” (yang dikampanyekan) berikut unsur pendukung dan persaingan

Semua topik telah diteliti, seperti sasaran, lingkungan, latar belakang budaya, overlapping of interest (perimpitan kepentingan). Contoh overlapping of interest adalah KB memakai perbaikan taraf hidup asebagai sasaran, yang “berimpit” dengan sasaran dan harapan masyarakat.
Apakah data secara rasional telah siap untuk merumuskan slogan atau motto yang sesuai dan tidak memaksakan. Contoh motto BERIMAN (Bersih Indah dan Aman); ASRI (Aman Serasi Rapi Indah) merupakan motto yang dipaksakan. Slogan Sumedang Tandang cukup berhasil memacu masyarakat Sumedang untuk membangun dan setiap warga berpikir demikian tanpa adanya motto di jalan-jalan.
Dalam kampanye memungkinkan untuk dialog, karena kampanye bersifa two way traffic communication dan juga kampanye menggunakan pendekatan modern bersifat ekspresif. Hal ini membuat kampanye berbeda dengan propaganda.
Proses kampanye mirip proses komputer (PC) yang memiliki kemampuan strorage, retrieval, processing, transference dan preference.
Perubahan/pendekatan kampanye selalu mengikuti atau disesuaikan tahap demi tahap dengan tingkat perubahan yang telah dicapai.

Menurut Astrid S. Soesanto secara teknis langkah-langkah tersebut ialah:

  1. Pesan sama untuk khalayak yang berbeda kemampuan menyebarluaskan informasi (share) dan memisahkan (separate) informasi bila tingkat IQ khalayak berbeda mampu mengerjakan massifikasi dan juga de-massifikasi
  2. Memanfaatkan pendekatan single sensory (indera tunggal) dan multy sensory (indera ganda).
  3. Didesak oleh waktu, dan mengenal sikap interaktif, yaitu :
  • Dengan khalayak,
  • Antar media, dan
  • Person to person (tetapi tidak selalu face to face) (1975 :136).

Kesuksesan suatu kampanye selalu dipengaruhi oleh seberapa jauh suatu kelompok atau suatu partai politik atau suatu perusahaan atau pun lembaga pemerintah di kenal di lingkungan khalayak, dan seberapa banyak pesan kampanye itu disebarluaskan melalui beberapa media sekaligus.
Kampanye juga sangat tergantung dari jenis saluran komunikasi yang digunakan dan juga tergantung tergantung dari isi pesan kampanye tersebut. Isi pesan biasanya akan terhalang oleh kepentingan khalayak terhadap pesan yang disampaikan. Juga isi pesan selalu ditafsirkan sesuai dengan persepsi khalayak. Maka jika persepsi khalayak berbeda dengan isi pesan sesungguhnya akan mengakibatkan boomerang effect (berbalik menentang) dan counter effect (tidak akan mengikuti/menjalankan isi pesan kampanye).
Yang terakhir dan sangat menentukan kesuksesan dalam kampanye adalah bahwa dalam melaksanakan suatu kampanye diperluklan juga kredibilitas juru kampanye. Rice dan Paisley menyatakan kesuksesan kampanye suatu kampanye sangat tergantung dari personal influence, dalam arti para juru kampanye harus orang yang dihormati di lingkungannya dan juru kampanye tersebut memiliki kridibilitas yang tinggi. Kredibitas yang tinggi akan menumbuhkan wibawa para juru kampanye.
Yang perlu diingat bahwa dalam dalam kampanye dilakukan cara-cara yang sesuai dengan prosedur, baik prosedur secara ilmiah maupun prosedur secara etika dan hukum. Maka kampanye tersebut disebut juga white campaign. Apabila proses kampanye dilaksanakan tidak sesuai atau bertentangan prosedur ilmiah dan prosedur etika hukum yang berlaku maka kampanye itu dinamakan black campaign.

KHALAYAK KOMUNIKASI POLITIK

Standard

A. Pengertian Khalayak
Menurut pengertian yang dipakai secara umum dalam komunikasi, maka pihak yang menjadi tujuan disampaikannya sesuatu pesan disebut sebagai penerima (receiver), atau khalayak (audience), atau komunikan. Meskipun demikian hendaklah dicatat bahwa khalayak sebenarnya hanyalah suatu peran yang sementara sifatnya. Sebab ketika pada giliran berikutnya penerima pesan akan memprakarsai penyampaian suatu pesan berikutnya, maka pada saat itu sebenarnya pihak yang tadinya disebut sebagai khalayak itu telah berubah peran menjadi komunikator.
Pengertian yang sama berlaku pula dalam komunikasi politik. Pihak yang tadinya pernah dikenali sebagai komunikator, atau sebagai saluran, pada saat yang lain dapat pula diidentifikasikan sebagai penerima pesan-pesan politik. Tergantung kepada situasi yang berlangsung. Namun begitu pembicaraan khalayak di sini nantinya akan memberi perhatian penekanan yang lebih banyak kepada khalayak dalam arti masyarakat luas atau yang kadangkala disebut juga sebagai publik .
Hennesy (dalam Nasution 1990), berkenaan dengan pelapisan khalayak komunikasi politik, membedakan publik sebagai berikut:
a. publik umum (general public);
b. publik yang penuh perhatian (the attentive public);
c. elit opini dan kebijakan (the leadership public).
Di antara semuanya, elit opini dan kebijakan merupakan kalangan yang paling aktif minatnya dalam masalah kepemerintahan dan seringkali sebagai pelaku politik. Sedangkan publik attentive merupakan khalayak yang menaruh perhatian terhadap diskusi-diskusi antar elit politik dan seringkali termobilisasi untuk bertindak dalam kaitan suatu permasalahan politik. Publik umum terdiri dari hampir separuh penduduk, dalam kenyataannya jarang berkomunikasi dengan para pembuat kebijakan.
Publik yang attentive, disebut juga lapisan yang penuh perhatian, merupakan sub-kultur yang khusus dimana kelompok-kelompok kepentingan yang merasa berkepentingan dengan masalah kebijakan umum ketimbang dengan kepentingan khusus. Khalayak yang berperhatian terhadap perkembangan yang berlangsung yang menyangkut kepemerintahan dan politik, merupakan suatu faktor yang amat diperlukan bagi terlaksananya sistem politik yang sehat. Mereka itulah lapisan masyarakat yang mau tahu dan menaruh perhatian pada pekembangan keadaan negaranya.
Publik attentive menempati posisi penting dalam proses opini. Pentingnya posisi tersebut menurut Nimmo (1978) didasarkan pada kenyataan:
1. Karena lapisan publik inilah yang berperan sebagai saluran komunikasi antar pribadi dalam arus pesan timbal balik antara pemimpin politik dengan publik umum. Publik attentive merupakan khalayak utama (key audience) dalam komunikasi politik.
2. Publik attentive menyertai para pemimpin politik sebagai pembawa konsensus politik. Yakni orang-orang yang digambarkan dalam bagian terakhir yang besar kemungkinannya daripada orang lain menunjang aplikasi spesifik aturan dan nilai-nilai umum demokrasi.
3. Publik attentive membentuk surrogate electorate atau pemilih bayangan dalam periode anatara masa pemilihan. Para politisi biasanya mempersepsikan gelombang arus opini di kalangan publik attentive sebagai representasi dari apa yang diyakini, dinilai, dan diharapkan oleh publik umum (yang kurang berperhatian kepada politik semasa periode di antara dua pemilu). Dengan kata lain, khalayak yang mempunyai perhatian itu merupakan lapisan masyarakat yang berkemauan untuk mengikuti dalam perkembangan politik yang berlangsung.

Dalam suatu penelitian mengenai kebudayaan politik (civic culture) di lima negara, Almond dan Verba (dalam Nasution 1988) mencoba mengetahui bagaimana penilaian anggota masyarakat tentang kompetensi politik dan keikutsertaan mereka dalam mempengaruhi sistem politik di tempat mereka berada. Responden di golongkan ke dalam skala yang menunjukkan sejauh mana mereka mengukur kompetensi diri mereka dalam berhubungan dengan pemerintahnya masing-masing. Skala tersebut didasarkan pada respon mereka terhadap lima pertanyaan yang berhubungan dengan pemerintahan setempat, yang masing-masing berbunyi:
a. Apakah mereka mengerti perkembangan politik di negaranya masing-masing?
b. Apakah mereka merasa bahwa dirinya masing-masing dapat melakukan tindakan untuk mempengaruhi pemerintahnya?
c. Apakah mereka merasa akan melakukan tindakan untuk mempengaruhi pemerintahan masing-masing?
d. Apakah masing-masing merasa dirinya akan berhasil dalam mempengaruhi pemerintah setempat?
e. Apakah masing-masing pernah mencoba mempengaruhi pemerintahannya?

Responden penelitian tersebut kemudian dikelompokkan menjadi high subjective political competence, medium political competence, dan low competence. Mereka yang termasuk tinggi dalam skala subjective competence-nya ternyata besar sekali kemungkinannya merupakan orang-orang yang memang membiarkan dirinya dikenai (exposed) komunikasi politik. Mereka yang tergolong high subjective competence oleh Almond dan Verba disebut sebagai self confident citizen yang berkemungkinan tidak hanya sekedar menjadi penerima(khalayak) dalam komunikasi politik, melainkan besar pula kemungkinannya untuk mengambil bagian dalam proses komunikasi politik itu sendiri. Dibanding dengan warga negara yang kompetensi subjektifnya rendah, maka mereka yang termasuk percaya diri tadi kemungkinan besar menjadi warga negara yang aktif, yakni mengikuti perkembangan politik, mendiskusikan politik, atau menjadi seorang partisan yang lebih aktif. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa golongan warga negara ini menyatakan membutuhkan kampanye pemilu, dan berpendapat bahwasanya warga negara biasanya berkewajiban untuk berpartisipasi dalam sistem politik di negara masing-masing.
Khalayak yang mempunyai perhatian terhadap perkembangan keadaan politik, memiliki informasi mengenai perkembnangan tersebut, dan mau aktif berpartisipasi, merupakan kebutuhan sistem politik. Menurut pandangan aktifis-rasional, suatu demokrasi yang sukses membutuhkan warga negara yang mau melibatkan diri dan aktif dalam politik, mempunyai dan memperoleh informasi politik, dan mempunyai pengaruh. Selanjutnya jika warga negara itu mengambil keputusan, khususnya keputusan penting tentang bagaimana memberikan suara, merka harus mendasarkan pada penilaian yang cermat atas dasar bukti-bukti dan pertimbangan yang diteliti mengenai alternatif-alternatif dari keputusan tersebut.
Sedangkan warga negara yang pasif, tidak memberikan suara, tidak memperoleh dan mengetyahui informasi, ataupun warga negara yang apatis, merupakan indikasi suatu demokrasi yang lemah. Meskipun kemudian, ada juga yang mempertanyakan model aktifis-rasional tersebut dalam studi mengenai perilaku politik, karena dalam kenyataannya memang warga negara dalam suatu sistem demokrasi jarang yang persis seperti itu. Warga yang dimaksud memang tidaklah sepenuhnya well-informed atau mengetahui keseluruhan, tidak pula semuanya secara khusus aktif, dan proses yang membawa mereka kepada keputusan votingnya tentunya hanya sekedar kalkulasi rasional. Kenyataan tersebut antara lain mendasari kritik bahwa model tadi tidak sepenuhnya akurat mencerminkan kultur kewarganegaraan di Amerika Serikat dan Inggris.

B. Khalayak komunikasi politik yang ideal
Baik dari sudut pandang ilmu politik, maupun dari sudut teori komunikasi terdapat persamaan gambaran mengenai ciri-ciri khalayak yang ideal. Di antara ciri itu adalah bahwa khalayak tersebut haruslah yang mempunyai perhatian untuk mengikuti perkembangan politik yang terjadi di sekelilingnya (dalam proses komunikasi dikenal adanya proses seleksi pada diri khalayak dalam attensi, interpretasi, dan retensi. Jadi adanya perhatian merupakan prasyarat untuk berlangsungnya komunikasi tersebut). Itu berarti khalayak tersebut mempunyai akses informasi yang tertatur, baik melalui saluran antarpribadi ataupun melalui media massa. Dengan perkataan lain, pertama-tama haruslah ada dorongan rasa ingin tahu atau rasa peduli kepada apa yang terjadi di masyuarakat dan negaranya. Dalam hubungan ini dapatlah diasumsikan bahwa, bila masyarakat mengikuti perkembangan politik dan pemerintahan, maka dalam pengertian tertentu mereka itu telah terlibat dalam suatu proses dengan keputusan-keputusan politik dalam arti luas ditetapkan.
Kemauan anggota masyarakat untuk mengikuti perkembangan keadaan merupakan suatu tingkat keterlibatan yang minimal. Kebudayaan kewargaan negara, mencakup suatu rasa kewajiban berpartisipasi dalam aktivitas input politik, sekaligus rasa kompetensi untuk berpartisipasi. Kemauan untuk mengikuti perkembangan politik dan kepemerintahan merupakan komitmen warga negara dalam arti yang terbatas. Namun tanpa hal itu, kebudayaan kewargaan negara yang disebutkan tadi tidak akan ada. Karena itu minat dan kesediaan untuk mengikuti perkembangan keadaan dapat dilihat sebagai cerminan dari komponen kognitif dari orientasi kewargaan negara.
Memang dapat dipahami mengapa partisipasi khalayak yang ideal itu masih sangat sedikit ditemukan pada masyarakat-masyarakat negara yang baru tumbuh. Karena itu untuk sampai pada keadaan khalayak ideal yang dimaksud, lebih dahulu harus dipenuhi berbagai persyaratan. Di antara factor yang menentukan adalah, tingkat kehidupan sosial ekonomi masyarakat, tahap pendidikan yang dicapai, pengenaan media, dan tentunya keadaan sosial masyarakat sendiri dalam arti apakah terdapat iklim sosial yang mendorong mereka menjadi ingin tahu dan ikut serta dalam gerak perkembangan politik dan kepemerintahan.
Selanjutnya, berkenaan dengan kompetensi demokrasi seorang anggota masyarakat yang berkaitan erat dengan dipunyainya informasi yang valid tentang issu-issu dan proses-proses politik. Setelah mempunyai informasi, para warga negara pun harus berkemampuan untuk menggunakan informasi yang dimaksud guna menganalisis issu-issu yang dihadapi dan memperangkati strategi-strategi pengaruh mereka dalam proses politik yang berlangsung.

KOMUNIKASI POLITIK

Standard

KONSEP DAN DEFINISI

Komunikasi Politik adalah sebuah studi interdisiplinari yang didirikan atas beberapa macam disiplin ilmu, terutama hubungannya antara beberapa proses komunikasi dan proses politik. Sehingga komunikasi yang berkaitan dengan politik kadang diklaim sebagai studi tentang aspek aspek plitik dari komunikasi publik dan sering dihubungkan sebagai komunikasi kampanye pemilu, karena mencakup masalah persuasi terhadap pemilih, debat antar kandidat dan penggunaan media massa sebagai alat kampanye (Mc Quail dalam Swanson, 1990).

  1. Komunikasi

Dari etimologi, komunikasi berasal dari bahasa Latin Communico yang berarti membagi, dan Communis yang berarti membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Definisi komunikasi disampaikan beberapa pakar antara lain Aristoteles (385-322 SM) dalam bukunya Rethoric, bahwa  penekanan komunikasi adalah “siapa mengatakan apa kepada siapa”. Selanjutnya pakar komunikasi Harold D Lasell pada 1948 mendefinisikan komunikasi sebagai “SIAPA mengatakan APA, MELALUI apa, kepada SIAPA dan apa AKIBATNYA”. Sedangkan Steven justru mengajukan sebuah definisi yang lebih luas, bahsa komunikasi terjadi kapan saja atau suatu organisme memberi reaksi terhadap suatu obyek atau stimuli, apakah itu berasal dari seseorang atau lingkungan sekitarnya.

Definisi komunikasi oleh para sarjana komunikasi yang mengkhususkan diri pada studi komunikasi antar manusia (human communikcation) yakni “komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan cara: (1) membangun hubungan atar sesama manusia; (2) melalui pertukaran informasi; (3) untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain; (4) serta berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu. Barelson dan Steiner (1964) menyatakan bahwa Komunikasi adalah penyaluran informasi, ide-ide, emosi, keahlian dan sebagainya dengan menggunakan lambang-lambang, kata-kata, gambar karakter/tokoh, grafik dan sebagainya. Sedangkan Garbner (1964) mendefinisikan komunikasi sebagai interaksi sosial melalui simbol simbol dan sistem pesan.

Dari berbagai definisi para ahli di atas, dapat ditarik gambaran bahwa terdapat beberapa unsur pembentuk komunikasi, yakni: sumber, pesan, media, penerima, pengaruh, umpan balik dan lingkungan.

Sumber, adalah pembuat atau pengirim informasi. Dalam komunikasi antarmanusia, sumber bisa terdiri dari satu orang, tetapi juga bisa dalam bentuk kelompok misalnya partai, organisasi, lembaga atau negara. Sumber juga disebut sebagai pengirim, komunikator atau enconder.

Pesan, adalah sesuatu yang disampaikan pengirim kepada penerima, disampaikan melalui metode tatap muka (anjangsana), atau melalui media komunikasi. Berisi ilmu pengetahuan, hiburan, informasi, nasehat ataupun propaganda. Pesan juga biasa disebut sebagai konten, message atau informasi.

Media,  adalah alat yang digunakan untuk memindahkan pesan dari sumber kepada penerima. Media Komunikasi ada yang berbentuk saluran antar pribadi, media kelompok dan adapula dalam bentuk media massa, baik media massa elektronik, maupun media massa cetak. Istilah media disebut juga sebagai saluran, alat, arena, sarana, medium ataupun channel.

Adapun beberapa bentuk media yang dapat disebutkan antara lain:

  • Media Cetak: surat kabar, majalah, tabloid, buku, katalog dan penerbitan.
  • Media Elektronik: film, radio televisi, komputer, internet.
  • Media format kecil: leaflet, brosur, selebaran, stiker, kalender meja, bulletin.
  • Media luar ruang: baliho, kain rentang, space iklan, electronic/ megatronic board, bando jalan, bendera jumbai, pin, logo, topi, rompi, kaos oblong, iklan berjalan.
  • Media komunikasi kelompok: partai politik, organisasi profesi, ikatan alumni, organisasi keagamaan, karang taruna, kelompok tani dan nelayan, koperasi, persatuan olah raga.
  • Media komunikasi publik: aula kota, balai desa, pameran, alun-alun, panggung kesenian, pasar, swalayan, sekolah, kampus.
  • Media Komunikasi sosial: pesta perkawinan, khitanan, arisan pertunjukan wayang, pesta rakyat, acara pelepasan haji, ritual kematian, sumur umum, rumah ibadah dan sebagainya.

Penerima, adalah pihak yang menjadi sasaran pesan yang dikirim oleh sumber. Penerima bisa terdiri dari satu orang atau lebih, bisa dalam bentuk organisasi, instansi, departemen, partai atau negara. Penerima juga disebut sebagai komunikan,khalayak, sasaran, konsumen, klien, target, audience ataupun receiver,

Pengaruh, adalah perbedaan apa yang dipikirkan, dirasakan maupun yang dilakukan oleh penerima dari sebelum dan sesudah menerima pesan. Pengaruh tersebut dapat berupa perubahan atau penguatan keyakinan terhadap  pengetahuan, sikap dan tingkah laku penerima. Pengaruh juga disebut sebagai efek, dampak ataupun akibat..